|
Burhanuddin Thomme (Perantau Bugis di Jakarta) |
BARRU - OPINI | kibarbarru.com
Kata orang bijak, menulislah jika ingin dikenang dan mengukir sejarah. Sejarah itu ditulis oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan. Sejarah Kartini adalah potret emansipasi perempuan dalam mengarungi kehidupan tanpa meninggalkan kodratnya sebagai mahluk Tuhan yang diciptakan berbeda fisik dengan laki-laki.
Kartini menolak tradisi yang menempatkan perempuan sebagai mahluk kelas dua. Ia ingin mendidik perempuan pribumi agar memiliki kesempatan belajar dan berkembang dengan mendirikan sekolah. Kartini juga tidak ingin tunduk secara simbolik, karena ingin memperjuangkan hubungan setara dengan laki-laki. Kartini membangun rumah tangga modern yang saling menghormati, bukan berdasarkan kekuasaan laki-laki bahkan menolak poligami.
Di hari Kartini ini, saya teringat 8 tahun lalu, atas nama penghormatan sejarah, jika anak yang lahir perempuan akan diberi nama 'Colliq Pujie', tapi Tuhan belum mengizinkan. Yang lahir laki-laki tetap mengacu pada sastra I Lagaligo. Niatan itu didasari oleh kekaguman perjuangan seorang perempuan tangguh, pemberani, pemimpin kerajaan, dan cinta ilmu pengetahuan yang hidup di abad ke-19, ketika perempuan di berbagai belahan dunia masih terkungkung di bawah dominasi laki-laki. Colliq Pujie tegak berdiri berani menentang ketidakadilan.
Colliq Pujie merupakan salah satu pejuang wanita asal Sulawesi Selatan (Sulsel). Namanya terukir dalam sejarah sebagai penyalin naskah La Galigo hingga 12 jilid, atau 1/3 dari keseluruhan naskah.
Colliq Pujie bernama lengkap Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa Matinroe ri Tucae. Ia putri Raja Tanete (sekarang Barru) ke-19, La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara.
Mengutip jurnal UIN Alauddin Makassar berjudul "Perjuangan Colliq Pujie Melawan Penjajahan Belanda di Tanete 1812-1876", nama lengkap Colliq Pujie jika diurai satu-satu, maka "Retna Kencana" adalah nama Melayu dari orang tuanya sejak kecil. "Colliq Pujie" berarti pucuk daun yang terpuji. "Arung Pancana Toa" adalah gelar jabatannya sebagai Raja Tua di Pancana. Setelah meninggal dunia diberi gelar anumerta "Matinroe ri Tucae" yang berarti "yang tertidur di Tucae" — sebuah tempat di Lamuru, Kabupaten Bone.
Colliq Pujie banyak menggerakkan perlawanan rakyat terhadap Belanda. Dibesarkan dalam sosial dan kultur yang memberi ruang setara antara laki-laki dan perempuan, hal ini terlihat pada kekuasaan yang dipegangnya.
Melansir jurnal "Women Leadership In The Archipelago: Reality of Empowerment and Struggle of Learning Rights", Colliq Pujie sangat menentang Belanda, terutama kebijakan yang merugikan rakyatnya.
Penentangannya semakin besar setelah suaminya, La Rumpang Megga meninggal. Ia dibuang ke Makassar sebagai tahanan politik pada Maret 1857 tanpa SK resmi Gubernur Makassar.
Pengasingan ini diduga alasan politis untuk menyingkirkan pengaruh dan akses dana yang dimiliki Colliq Pujie yang dinilai membahayakan kedudukan Belanda.
Kondisi ekonomi terbatas memaksa Colliq Pujie menjual permata tabungannya dan menerima tawaran menyalin teks I Lagaligo dari penginjil Belanda BF Matthes. Kerja sama berlangsung 20 tahun dengan salinan mencapai 12 jilid dan 2.851 halaman kertas folio.
La Galigo adalah tradisi lisan Bugis berupa nyanyian (sureq), sekuel tersebar di kalangan bangsawan, keluarga kerajaan, dan tokoh adat Sulawesi Selatan.
Colliq Pujie juga menambahkan pengantar naskah dan petunjuk pencarian sekuel lain. Kerja sama inilah yang menyelamatkan karya budaya Bugis hingga kini.
Selain menyalin La Galigo, Colliq Pujie pencipta aksara bilang-bilang, gabungan aksara Bugis dan Arab, yang digunakan untuk berkorespondensi rahasia dengan pengikutnya tanpa diketahui Belanda.
Karya Colliq Pujie
Selain naskah La Galigo dan aksara bilang-bilang, Colliq Pujie juga menulis naskah sejarah Tanete (Attoriolong Tanete) pada 1852. Naskah ini diterbitkan dengan judul Geschiedenis van Tanette di Leiden pada 1883.
Penyalin La Toa, lontaraq berisi petuah dan kewajiban raja terhadap rakyat, juga karya Colliq Pujie, dicetak tahun 1872 dan tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden.
Ulusan sejarah ini mengingatkan kita pada perempuan hebat Sulawesi Selatan, tokoh emansipasi yang jarang didiskusikan, namun kehebatannya tak kalah dengan pejuang perempuan lain di Indonesia, yaitu Colliq Pujie, kartini dari tanah Bugis.
Penulis:
Burhanuddin Thomme (Perantau Bugis di Jakarta)
Posting Komentar untuk "Colliq Pujie: Pejuang Wanita Bugis dan Penyalin Naskah La Galigo dari Barru"